BAB I
PENDAHULUAN
Di masa lampau, wanita masih sangat terikat dengan nilai-nilai
tradisional yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sehingga jika ada wanita
yang berkarir untuk mengembangkan keahliannya di luar rumah, maka mereka
dianggap telah melanggar tradisi sehingga mereka dikucilkan dari pergaulan
masyarakat dan lingkungannya. Dengan demikian mereka kurang mendapat kesempatan
untuk mengembangkan diri di tengah-tengah masyarakat.
Sejalan dengan
perkembangan zaman, kaum wanita dewasa ini khususnya mereka yang tinggal di
kota-kota besar cenderung untuk berperan ganda bahkan ada yang multi fungsional
karena mereka telah mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan
diri sehingga jabatan dan pekerjaan penting di dalam masyarakat tidak lagi
dimonopoli oleh kaum laki-laki. Sudah tentu hal itu akan berdampak terhadap sendi-sendi kehidupan sosial,
baik positif maupun negatif.
Di tengah hembusan gerakan feminisme, sebagai akibat dari kebutuhan
untuk menghidupi keluarga dan semakin meningkatnya keterdidikan kaum perempuan,
isu ketidakadilan gender mulai disuarakan di Indonesia sejak 1960-an, isu ini
menjadi bagian dari fenomena dan dinamika masyarakat Indonesia yang membuat
posisi kaum perempuan semakin membaik.
Dari sinilah kemudian muncul komunitas pekerja perempuan atau yang
lebih populer disebut dengan wanita karier. Wanita karier
memperluas dunia pengabdiannya, bukan saja di rumah tangga sebagai ibu (peran
domestik), tetapi juga di tengah masyarakat dengan berbagai fungsi dan jabatan
(peran publik).
Pandangan yang selama ini diawetkan bahwa setinggi-tinggi perempuan
sekolah, akhirnya akan ke dapur juga sudah mulai dipersoalkan, bahkan sudah
mulai dibongkar. Dapur tidak lagi dipahami dalam arti kerja domestik, seperti
memasak, mengasuh anak, dan mengatur rumah tangga serta melayani suami di
kasur. Dapur sudah mengalami pergeseran penafsiran dengan memasuki penafsiran
metafora, yakni kewajiban membiayai rumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Wanita Karier
Wanita karier dan karier wanita masih merupakan tema kontroversi
dalam wacana Islam. Wanita karier ialah wanita yang memiliki keahlian,
keterampilan, dan profesi khusus di luar kegiatan kerumahtanggaan. Aktivitas
mereka lebih banyak bergerak dalam dunia publik. Sedangkan karier wanita
adalah konsepsi sosial budaya terhadap pekerjaan dan profesi seorang wanita.
Ketika seorang wanita tampil di arena publik dengan keahlian dan
profesi tertentu maka pada saat itu ia dicap sebaagi wanita karier dan
sekaligus memberikan perspektif baru pada dunia karier wanita.
Namun demikian tidak semua wanita yang bekerja atau tenaga kerja
wanita dapat diklaim sebagai tenaga karier. Karena merka yang hasil karyanya
sebatas dapat menghasilkan imbalan keuangan disebut sebagai wanita bekerja,
meskipun imbalan tersebut tidak diterima secara langsung.
Secara lebih jelas, wanita karier adalah wanita yang menekuni
dan mencintai sesuatu atau beberapa pekerjaan secara penuh dalam waktu yang
relatif lama, untuk mencapai sesuatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan atau
jabatan. Umumnya karier wanita ditempuh oleh wanita di luar rumah, sehingga
wanita karier tergolong mereka yang berkiprah di sektor publik. Disamping itu,
untuk berkarier berarti harus menekuni profesi tertentu yang membutuhkan
kemampuan, kapasitas, dan keahlian dan acap kali hanya bisa diraih dengan
persyaratan telah menempuh pendidikan tertentu.
B. Al-Qur’an dan Hadist tentang posisi perempuan
Tema pengangkatan harkat dan martabat kaum wanita ini dikembangkan
oleh Rasulullah SAW, berdasarkan ajaran yang beliau terima dari Allah SWT.
Banyak ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang memberi penekanan akan peran wanita
dan kaum laki-laki yang harus seimbang. Tidak ada dominasi yang satu dengan
yang lainnya. Kedua-duanya mempunyai kedudukan yang sama. Bahkan ada perbedaan
kodrati yang dipunyai oleh laki-laki dan perempuan itu memang benar. Tetapi
perbedaan kodrati tidak mesti membawa pada satu mendominasi yang lain.
Al-Qur’an menegaskan bahwa antara laki-laki dengan perempuan
terdapat kesetaraan. Tidak ada perbedaan antara keduanya dalam perbuatan. Siapa
saja melakukan amal (perbuatan) akan mendapat ganjaran yang setimpal dengan apa
yang mereka perbuat. Inilah yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an
surat Al-Ahzab (33) ayat 35:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ
وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ
فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Jelas sekali terpahami dalam ayat di atas, Islam tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja mendapat ganjaran dari amal
perbuatan yang dilakukannya. Tidak ada penempatan yang lebih ataupun penempatan
yang kurang dalam posisi itu. keduanya harus saling mendukung.
Suasana kebersamaan dalam membangun dan menciptakan rumah tangga
yang sakinah,
mawaddah wa rahmah tidak menjadi tanggung jawab kaum laki-laki
saja. Keduanya mempunyai peran dan fungsi yang sama dan setara. Bahkan
al-Qur’an menegaskan bahwa keduanya harus terjalin kerja sama dan saling bantu
membantu. Firman Allah dalam surat At-Taubah (9) ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Hadis juga menjelaskan bahwa terdapat kondisi dimana seorang wanita
juga harus mempunyai aktivitas di luar rumah. Hadits Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Bibiku ditolak suaminya. Ia bermaksud menanam
kormanya di waktu iddah, maka ia dilarang oleh seorang laki-laki keluar dari
rumah. Ia datang kepada Nabi Muhammad. Beliau bersabda: Betul, petiklah kormamu
sebab barangkali kamu dapat bersedekah dengannya atau berbuat kebaikan .”
Diriwayatkan oleh Al Rabi binti Mua’awwidz, ia berkata: “Kami
ikut berperang bersama Rasulullah SAW. Kami menyediakan minuman bagi para
prajurit yang terbunuh dan yang terluka ke Madinah”. Juga hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Ummu Athiyyah Al-Anshory berkata: “Saya
ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, saya berada di belakang
mereka, emgobati yang terluka dan merawat yang sakit.”
Hadits-hadits tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas,
betapa kaum perempuan semenjak Nabi telah memegang peran publik mereka di tengah
masyarakat. Posisi yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan
dipelihara dan dibangun secara terus menerus oleh Rasulullah SAW. Hal ini bukan
hanya dalam doktrin dan ajaran, tetapi juga dalam praktek pelaksanaan di tengah
kehidupan sehari-hari.
C.
Peranan dan
Fungsi Perempuan
Sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, wanita telah
menjadi salah satu wacana penting. Dalam al-Qur’an terdapat dua surat: an-Nisa dan
Maryam
yang bertajuk wanita dan isinya banyak membicarakan persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan wanita. Sepeninggal Nabi SAW, wanita menjadi wacana yang tak
pernah selesai. Bahkan perhatian terhadap topik ini melebihi perhatian terhadap
tema pria, walaupun antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Hal ini membuktikan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar
terhadap wanita dan menjunjung harkat dan martabat seorang wanita.Adapun Peran
dan Fungsi wanita dalam perspektif Islam:
1. Wanita sebagai Ibu
Islam memandang dan memposisikan wanita sebagai ibu di tempat yang
luhur dan sangat terhormat. Ibu adalah satu di antara dua orang tua yang
mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan setiap individu. Di tangan
ibu-lah setiap individu dibesarkan dengan kasih sayang yang tak terhingga. Ibu,
dengan taruhan jiwa raga telah memperjuang kehidupan anaknya, sejak anak masih
dalam kandungan, lahir hingga dewasa. Secara tegas al-Qur’an memerintahkan
setiap manusia untuk menghayati dan mengapresiasi ibu atas jasa-jasanya dengan
berbuat baik kepadanya. Firman Allah dalam Q.S. Luqman : 14 sebagai berikut:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا
عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.”
2. Wanita sebagai Istri
Peran lain wanita dalam kehidupan sehari-hari, adalah sebagai
istri. Suami dan istri adalah sepasang makhluk manusia yang atas dasar cinta
kasih suci mengikat diri dalam jalinan nikah. Keduanya saling melengkapi dan
saling membutuhkan. Q.S. al-Baqarah : 187 yang artinya :
.........هُنَّ
لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ.........
”….mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…
Antara suami
istri kedekatannya dan fungsinya adalah bagaikan pakaian yang melekat tubuh
pemakainya; saling menutupi kekurangan pasangannya dan saling melindungi. Islam
memandang perkawinan melalui jalinan pernikahan dalam rangka mensejahterakan
manusia serta menjamin kelangsungan hidup manusia melalui reproduksi dan
regenerasi dalam sistem yang sehat.
3. Wanita sebagai Pribadi dan Anggota Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang berkumpul dan
berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bersama. Setiap individu membentuk
keluarga dan keluarga-keluarga itu merupakan komponen masyarakat. Tidak dapat
dielakkan bahwa masyarakat tersebut lebih kurang separuh anggotanya adalah
wanita.
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak hal yang menjadi hak dan
kewajiban setiap anggotanya. Hak dan kewajiban itu harus dijunjung tinggi oleh
setiap anggota dalam kegiatan dan kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an sebagai
rujukan prinsip dasar masyarakat Islam menunjukkan bahwa pria dan wanita
diciptakan dari satu nafs (living entily), dimana yang satu
tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain dan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama.
Islam lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang
berlandaskan keadilan atas kedudukan pria dan wanita. Keadilan menurut Islam
adalah terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara sah, sebaliknya bagi pihak
lain (lawan arah) adalah kewajiban.
Oleh karena itu, bagi yang lebih banyak memenuhi kewajiban atau
pemikul kewajiban yang lebih besar, dialah yang memiliki hak lebih dibanding
yang lain sehingga tidak ada yang dapat dikatakan lebih berbobot antara hak dan
kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar. Kesejajaran hak dan kewajiban
pria dan wanita tidak didengungkan oleh Barat; yang diserukan adalah persamaan
hak. Kesejajaran dalam hak dan kewajiban antara suami istri sebagaimana
digambarkan oleh Nabi bahwa hak istri merupakan kewajiban suami dan sebaliknya
hak suami merupakan kewajiban istri. Karena itu suami istri sama-sama memakai
pakaian, merasakan kenikmatan makanan, tidak saling berlaku kasar
menjelekkan/merendahkan dan tidak akan meninggalkan tanggung jawab
masing-masing.
D.
Perempuan Karir
dalam bingkai Islam
Sebagai agama yang kaffah, Islam tidak hanya
melingkupi dan mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
tetapi juga dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan alam,
termasuk di dalamnya tentang bekerja yang tampaknya bersifat duniawi. Bekerja
adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota
tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perseorangan
atau secara kolektif, baik untuk pribadi ataupun untuk orang lain (dengan
menerima gaji).
Menurut Islam bekerja yang tampaknya bernuansa duniawi dapat
bernilai ibadah bila dilakukan dengan tujuan yang benar: yaitu mencari ridla
Allah SWT, dan mendapatkan keutamaan dari hasil kerjanya. Hal ini sesuai dengan
Firman Alllah SWT, dalam surat al-Jum’ah : 10.
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
”Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Dan manakala kita mencermati kondisi dalam kehidupannya selama ini,
maka akan kita jumpai sebagian suami mereka ternyata tidak berkemampuan
menanggung biaya hidup keluarga, bahkan kebanyakan orang tua/wali tidak sanggup
menanggung beban hidup seorang anak wanita beserta anak-anaknya ketiak ia
diceraikan suaminya atau menjadi janda karena ditinggal mati oleh suaminya.
Dalam kondisi seperti ini seorang wanita dapat dikatakan wajib terjun
ke dunia profesi (karier) untuk menanggung biaya hidupnya beserta keluarganya
karena sipenanggung jawab sudah tiada/tidak berdaya. Sementara dalam kesempatan
lain seorang wanita disunahkan melakukan kegiatan profesi. Manakala kegiatan
profesi (karier) dilakukan sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan
berpedoman pada tujuan-tujuan yang luhurnya membantu suami, ayah, atau
saudaranya yang miskin, mewujudkan kepentingan masyarakat banyak, berkorban
pada jalan yang baik dan sebagainya.
Setelah mencermati berbagai motif berkarier bagi wanita maka
penelusuran selanjutnya diarahkan pada pandangan Islam terhadap karier wanita.
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban
yang sama dengan pria, wanita juga mempunyai peluang berkarier sebagaimana
pria. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang memberikan pemahaman
esensial: bahwa Islam mendorong wanita maupun pria untuk berkarier. Dalam surat
an-Nisa : 32, Allah SWT berfirman :
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ
بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam beribadah maupun berkarya,
wanita memperoleh imbalan dan pahala yang tidak berbeda dengan pria. Islam
tidak membedakan pengakuan dan apresiasi terhadap kinerja atasa dasar jenis
kelamin. Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan dicapai jika usaha dilakukan
secara maksimal disertai do’a. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa wanita
bisa berkarier dan dapat mencapai prestasi sama dengan pria atau bahkan melebihinya;
bergantung pada usaha dan doanya.
Penegasan Allah SWT bahwa wanita dan pria diberi hak dan peluang
yang sama baik dalam hal beramal, bekerja maupun berprestasi dapat disimak pula
dalam Q.S. An-Nisa : 124 berikut ini:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh,
baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
Beberapa ayat Al-Qur’an tersebut cukup menjadi bukti bahwa ajaran
Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan motivasi yang kuat
agar para musliamah mampu berkarier di segala bidang sesuai dengan kodrat
martabatnya. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan
dan perbudakan. Dengan demikian, Islam memang agama pembebasan dari perbudakan
antar manusia maupun hawa nafsunya. Konsep ini selaras dengan prinsip kebebasan
yang dianut barat. Hanya saja, melalui Islam manusia dituntun hidup bebas
sesuai dengan tuntunan Tuhan.
Masalah yang timbul kini berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam
dalam dunia profesi (karier) yang ruang geraknya disektor publik, sedangkan di
sisi lain wanita sebagai ra’iyah fi baiti zaujiha (penanggungjawab
dalam masalah-masalah intern rumah tangga), cukup menimbulkan pendapat yang
kontroversial di kalangan cendekiawan muslim. Abbas Mahmud al-Aqqad
misalnya, tidak memperbolehkan wanita (istri) bekerja di luar rumah. Alasannya
karena pria telah diberi kelebihan kemampuan dalam menghadapi hidup daripada
wanita. Karena itu ”pekerajaan” wanita terletak di rumah tangga, meskipun ia
memiliki kesanggupan intelektual maupun fisik yang sama dengan pria, namun
dalam kondisi tertentu wanita harus mundur dari perjuangan hidup selama hamil,
melahirkan, dan menyusui anak. Kecuali bila wanita terpaksa harus mencari
nafkah sendiri, maka al-Aqqad membolehkan wanita bekerja. Mustafa al-Siba’i sependapat
dengan al-Aqqad, yakni membolehkan wanita bekerja manakala tidak ada seseorang
yang menjamin nafkah padanya. Itupun hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang
relatif mudah wajar dan tidak mengandung resiko. Bainya wanita lebih terhormat
untuk tinggal di rumah terutama bila yang bersangkutan mempunyai anak.
Dalam kegiatan sosial maupun politik, meskipun tidak ada larangan
secara eksplisit, namun pada masa Rasul SAW, dan masa Sahabat tidak ada wanita
yang berprofesi sebagai politikus. Keterlibata mereka di medan perang untuk
menjadi perawat dan juru masak sekedar partisipasi dan bukan pemegang posisi
strategis. Ia beranggapan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah, lebih banyak
maaratnya dibandingkan manfaat yang diraihnya, yaitu mendatangkan fitnah yang
dapat merusak sendi-sendi kehidupan rumah tangganya.
Abdurahman Taj berpendapat bahwa apabila seorang istri bekerja sehari penuh atau
sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari berada di rumah (suaminya)
atau bekerja di malam hari dan menggunakan sisa waktu malamnya bersama suami;
maka apabila hak suami rela dengan keadaan tersebut, gugurlah haknya dalam
menahan istri agar tinggal di rumah dan ia wajib memberinya (istri) nafkah,
sebaliknya manakala ia (suami) tidak rela maka ia tidak (wajib) memberinya
(istri) nafkah. Bahkan apabila suami pada mulanya rela istri bekerja lantas
berubah pikiran untuk mencegahnya dan manakala istrinya menolak untuk berhenti
bekerja, maka gugurlah kewajiban suami memberi nafkah.
Bila dicermati dengan seksam maka pendapat-pendapat tersebut dapat
digolongkan kepada paham fungsionalistik, yang mengutamakan keseimbangan,
keharmonisan dan kestabilan, karena itu agar tidak terjadi konflik dalam
keluarga akibat persaingankarier (suami-istri) maka harus ada pembagian tugas
yang sedemikian rupa yang menempatkan suami dalam fungsi instrumental
dan istri dalam fungsi ekspresif.
Sedangkan dipihak lain antara lain al-Hatimi menyatakan
bahwa wanita boleh bekerja, bahkan dibolehkan menduduki jabatan
strategis/peranan penting di masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada ajaran
syariat yang menghidupi kesuciannya serta tidak menelantarkan peran utamanya
sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya bertolak dari historis tentang
partisifasi para wanita di zaman Nabi SAW, dalam peperangan, misalnya:
”mengangkat/menyediakan air minum para prajurit, memasak/menyediakan makanan,
menjaga/merawat prajurit yang sakit, menjaga dan memelihara kenadaraan,
memata-matai musuh, menjahit pakaian dan sebagainya”.
Seorang wanita yang bernama Ummu ’Atiyah ikut berperang bersama
Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali sebagaimana pengakuannya yang termaktub dalam
Hadis berikut: Dari Ummu ’Atiyah al-Anshariyyah berkata, ”Saya
berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali; aku membantu mereka
(pasukan) dalam barak mereka dengan menyiapkan makanan mereka, mengobati yang
terluka, dan menjaga yang sakit”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi wanita yang ikut terjun ke medan perang,
misalnya Safiyah binti Abdul Muthalib seorang wanita pemberani dan sangat
perkasa, sehingga dengan pukulannya yang kuat ia bisa membunuh mata-mata dari
umat Yahudi.
Dengan fakta-fakta historis tersebut maka tidak perlu ada lagi
alasan-alasan yang mengahalangi/melarang seorang wanita terjun dalam profesi
apapun, manakala tidak keluar dari koridor kewajaran menurut syariat Islam dan
tidak meninggalkan/ mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu rumah tangga.
Tokoh lain yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah al-Sakhawi
yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang mempunyai keahlian atau kepandaian
tertentu, seharusnya diabdikan kepada masyarakat agar manfaatnya menyebar
kepada orang banyak. Jamal al-Din Muhammad Mahmud sependapat dengan
al-Sakhawi bahwa wanita berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja (di sektor
publik) apabila yang bersangkutan membutuhkan pekerjaan itu, atau pekerjaan
tersebut membutuhkan orang-orang seperti dia (dalam keahlian tertentu) bahkan
seharusnya dibuat undang-undang yang sesuai dengan hukum Islam untuk melindungi
dan menjamin kesejahteraan pekerja-pekerja wanita itu.
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh wanita
dalam meniti karier di luar rumah. Antara lain:
1)
Pergaulan
Perempuan
Berkaitan dengan pola pergaulan muslimah, al-Qur’an dan hadits
telah memaparkan dengan jelas ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh
setiap muslimah. Dalil-dalil ini juga telah dikutip oleh para ”ulama”
sebagaimana tertuang buku-buku fikih. Dari berbagai ayat dan sabda Nabi, dapat
disimpulkan prinsif-prinsif dasar yang menjadi landasan pola pergaulan
muslimah.dalam hubungan ini, hal-hal berikut ini perlu direnungkan.
Salah satu ayat al-Qur’an (Surat Al-Ahzab/33 : 33) menyatakan
wanita diperintahkan untuk tinggal dirumah dan tidak diperkenankan keluar rumah
dengan tabarruj
seperti orang-orang jahiliyah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ.......
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu…”
Namun dilihat dari asbab al nujulnya, ayat ini turun
dalam konteks istri-istri Nabi. Istri-istri Nabi SAW diperintahkan untuk tetap
berada di rumahnya kecuali ada keperluan yang bersifat darurat, dan ini juga
berlaku pula bagi wanita muslimah lainnya jika tidak ada dalil lain yang
menyatakan berbeda. Ayat ini diturunkan untuk melindungi dan memuliakan wanita.
Untuk kehidupan masa kini, meninggalkan rumah bagi sebagian wanita
muslimah tidak hanya darurat tetapi merupakan kebutuhan. Bahkan meninggalkan
rumah untuk berkarier, sama sekali tidak menjadikan wanita terancam; bahkan
bisa ”mulia” menurut persepsi masyarakat. Dengan kata lain wanita yang
berkarier dan sukses justru dinilai positif dan direspek tentu saja selama
wanita itu memegang teguh nilai-nilai Islam, baik dalam pergaulan, pakaian
maupun dalam bekerja.
Dalam berinteraksi dengan kaum pria, wanita diperintahkan untuk
merendahkan suaranya, dan dilarang mengekspresikan suara yang menimbulkan
rangsangan bagi pria selain muhrimnya. Firman Allah:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ
مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213] dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214] dan
ucapkanlah perkataan yang baik,” (Q.S. Al-Ahzab/33:32)
Masih terkait dengan interaksi wanita-pria, wanita tidak diperkenankan
berduaan dengan pria bukan muhrimnya, demikian pula sebaliknya. Dalam
sebuah hadits disebutkan: Dari Uqbah bin Amir dari Nabi SAW mengatakan,
”Tidaklah seorang pria berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, kecuali
setan yang ketiga diantara mereka”. (HR. Bukhari, Ahmad dan
At-Turmudzi).
Ketika berjalan, wanita harus menunjukkan sikap tawadu,
penuh rasa malu namun sopan dan tidak menampakkan kelemahan yang bisa mendorong
pria untuk menggodanya. Tidak boleh memakai sesuatu yang menimbulkan suara
ketika berjalan, sehingga menarik perhatian orang yang mendengarnya, seperti
memakai gelang kaki, sepatu yang bisa menimbulkan suara dan sebagainya. Dalam
al-Qur’an dinyatakan
.....وَلَا
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“…Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur :
31)
Wanita hendaknya tidak berdesakan dengan pria di jalan. Ketika
berjalan berbaur dengan orang banyak, dimana sebagian mereka adalah pria, maka
hendaknya wanita di bagian belakang.
Wanita juga tidak boleh memakai wewangian dan aneka macam alat
kecantikan yang bisa menarik perhatian lawan jenis.
Islam telah menggariskan etika sempurna tentang peran wanita dalam
kehidupan sosial dengan segala konsekuensinya, seperti harus bertemu dengan
kaum pria. Dalam hal ini terdapat beberapa faktor yang menjadi karakter dasar
etika tersebut, diantaranya:
·
Tidak menghambat proses keseriusan
hidup serta tetap mempertahankan akhlak dan harga diri manusia.
·
Menumbuhkembangkan kesejahteraan dan
kemakmuran, menjauhkan manusia dari kemunkaran sekaligus menempanya sehingga
tidak terseret arus kejahatan.
·
Menjamin kesehatan mental pria dan
wanita secara merata, karena tidak membuka peluang bagi sikap berlebihan,
melanggar norma suslila, atau memancing syahwat. Selain itu, etika itupun tidak
menimbulkan sikap pura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang
berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menjadikan seorang wanita menutup
diri dari seorang pria.
2)
Ketentuan
Berbusana dalam Islam
Salah satu
usaha preventif agar tidak timbul madarat bagi wanita yang dalam
tugas kesehariannya berada di tengah komunitas pria adalah perlunya menegakkan
perintah (wajib)
menutup aurat atau dengan kata lain berbusana yang islami, dengan beberapa
alasan antara lain: Pertama, menutup aurat oleh wanita
merupakan faktor penunjang utama kewajiban pria untuk menahan pandangan yang
diperintahkan Allah SWT. Kedua, menutup aurat menjadi wajib
karena sad
al-zara’i yaitu menutup pintu kepada dosa yang lebih besar seperti
berzina, sebagaimana tertuang di dalam QS. al-Isra/17 : 32 :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ
سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina.
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.”
Oleh karena
itu, para ulama sepakat mengatakan, menutup aurat hukumnya wajib
bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita. Busana yang dikenakan sehari-hari
di ruang publik bagi wanita karier khususnya dan wanita pada umumnya, hendaknya
memenuhi kriteria sebagai berikut:
·
Busana yang menutup seluruh aurat
yang wajib ditutup.
·
Busana yang tidak menyolok mata dan
menjadi kebanggaan pemakainya di depan orang lain.
·
Busan yang tidak tipis, agar warna
kulit pemakainya tidak nampak dari luar.
·
Busana yang agak longgar/tidak
terlalu ketat agar tidak menampakkan bentuk tubuhnya.
·
Busana yang tidak menyerupai/sama
dengan busana untuk pria.
·
Busana yang bukan merupakan
perhiasan bagi kecantikan yang menjadi alat kesombongan/tabarruj.
3)
Etos
Kerja Islami
Selain
pergaulan dan pakaian, muslimah yang memilih dunia karier juga harus bekerja
dengan etos kerja yang tinggi dan profesional. Dalam Islam banyak didapati
ajaran yang mendorong untuk melakukan usaha dan bekerja yang giat untuk
memperoleh hasil kerja yang maksimal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wanita muslimah dapat melakukan
kegiatan karier di luar rumah, manakala kegiatan profesi (karier) dilakukan
sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan
yang luhurnya membantu suami, ayah, atau saudaranya yang miskin, mewujudkan
kepentingan masyarakat banyak, berkorban pada jalan yang baik dan sebagainya.
B.
Saran
Tidak
ada lagi alasan-alasan yang mengahalangi/melarang seorang wanita terjun dalam
profesi apapun, manakala tidak keluar dari koridor kewajaran menurut syariat
Islam dan tidak meninggalkan/mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu rumah
tangga.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrauf Saimima, Iqbal (Editor), 1988. Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta : Putaka Panjimas.
Albar, Muhammad, 1999. Wanita
Karier dalam Timbangan Islam, Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan
Seksual, terjemahan Amir Hamzah Fachrudin. Jakarta: Pustaka Azzam.
Dahri, Ibnu Ahmad, 1985. ”Peran
Ganda Wanita dalam Keluarga” dalam Emansipasi Wanita dan Peran Ganda Wanita Indonesia.
Yogyakarta, UII Press.