Cute Rocking Baby Monkey

Sabtu, 04 Mei 2013

WANITA KARIER DAN KEWAJIBANNYA SEBAGAI IBU RUMAH TANGGA


BAB I
PENDAHULUAN

 Di masa lampau, wanita masih sangat terikat dengan nilai-nilai tradisional yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sehingga jika ada wanita yang berkarir untuk mengembangkan keahliannya di luar rumah, maka mereka dianggap telah melanggar tradisi sehingga mereka dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan lingkungannya. Dengan demikian mereka kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri di tengah-tengah masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan zaman, kaum wanita dewasa ini khususnya mereka yang tinggal di kota-kota besar cenderung untuk berperan ganda bahkan ada yang multi fungsional karena mereka telah mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri sehingga jabatan dan pekerjaan penting di dalam masyarakat tidak lagi dimonopoli oleh kaum laki-laki. Sudah tentu hal itu akan berdampak terhadap sendi-sendi kehidupan sosial, baik positif maupun negatif.
Di tengah hembusan gerakan feminisme, sebagai akibat dari kebutuhan untuk menghidupi keluarga dan semakin meningkatnya keterdidikan kaum perempuan, isu ketidakadilan gender mulai disuarakan di Indonesia sejak 1960-an, isu ini menjadi bagian dari fenomena dan dinamika masyarakat Indonesia yang membuat posisi kaum perempuan semakin membaik.
Dari sinilah kemudian muncul komunitas pekerja perempuan atau yang lebih populer disebut dengan wanita karier. Wanita karier memperluas dunia pengabdiannya, bukan saja di rumah tangga sebagai ibu (peran domestik), tetapi juga di tengah masyarakat dengan berbagai fungsi dan jabatan (peran publik).
Pandangan yang selama ini diawetkan bahwa setinggi-tinggi perempuan sekolah, akhirnya akan ke dapur juga sudah mulai dipersoalkan, bahkan sudah mulai dibongkar. Dapur tidak lagi dipahami dalam arti kerja domestik, seperti memasak, mengasuh anak, dan mengatur rumah tangga serta melayani suami di kasur. Dapur sudah mengalami pergeseran penafsiran dengan memasuki penafsiran metafora, yakni kewajiban membiayai rumah tangga.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Wanita Karier

Wanita karier dan karier wanita masih merupakan tema kontroversi dalam wacana Islam. Wanita karier ialah wanita yang memiliki keahlian, keterampilan, dan profesi khusus di luar kegiatan kerumahtanggaan. Aktivitas mereka lebih banyak bergerak  dalam dunia publik. Sedangkan karier wanita adalah konsepsi sosial budaya terhadap pekerjaan dan profesi seorang wanita.
Ketika seorang wanita tampil di arena publik dengan keahlian dan profesi tertentu maka pada saat itu ia dicap sebaagi wanita karier dan sekaligus memberikan perspektif baru pada dunia karier wanita.
Namun demikian tidak semua wanita yang bekerja atau tenaga kerja wanita dapat diklaim sebagai tenaga karier. Karena merka yang hasil karyanya sebatas dapat menghasilkan imbalan keuangan disebut sebagai wanita bekerja, meskipun imbalan tersebut tidak diterima secara langsung.
Secara lebih jelas, wanita karier adalah wanita yang menekuni dan mencintai sesuatu atau beberapa pekerjaan secara penuh dalam waktu yang relatif lama, untuk mencapai sesuatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan atau jabatan. Umumnya karier wanita ditempuh oleh wanita di luar rumah, sehingga wanita karier tergolong mereka yang berkiprah di sektor publik. Disamping itu, untuk berkarier berarti harus menekuni profesi tertentu  yang membutuhkan kemampuan, kapasitas, dan keahlian dan acap kali hanya bisa diraih dengan persyaratan telah menempuh pendidikan tertentu.

B.     Al-Qur’an dan Hadist tentang posisi perempuan

Tema pengangkatan harkat dan martabat kaum wanita ini dikembangkan oleh Rasulullah SAW, berdasarkan ajaran yang beliau terima dari Allah SWT. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang memberi penekanan akan peran wanita dan kaum laki-laki yang harus seimbang. Tidak ada dominasi yang satu dengan yang lainnya. Kedua-duanya mempunyai kedudukan yang sama. Bahkan ada perbedaan kodrati yang dipunyai oleh laki-laki dan perempuan itu memang benar. Tetapi perbedaan kodrati tidak mesti membawa pada satu mendominasi yang lain.
Al-Qur’an menegaskan bahwa antara laki-laki dengan perempuan terdapat kesetaraan. Tidak ada perbedaan antara keduanya dalam perbuatan. Siapa saja melakukan amal (perbuatan) akan mendapat ganjaran yang setimpal dengan apa yang mereka perbuat. Inilah yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Ahzab (33) ayat  35:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
 “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Jelas sekali terpahami dalam ayat di atas, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja mendapat ganjaran dari amal perbuatan yang dilakukannya. Tidak ada penempatan yang lebih ataupun penempatan yang kurang dalam posisi itu. keduanya harus saling mendukung.
Suasana kebersamaan dalam membangun dan menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah tidak menjadi tanggung jawab kaum laki-laki saja. Keduanya mempunyai peran dan fungsi yang sama dan setara. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa keduanya harus terjalin kerja sama dan saling bantu membantu. Firman Allah dalam surat At-Taubah (9) ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Hadis juga menjelaskan bahwa terdapat kondisi dimana seorang wanita juga harus mempunyai aktivitas di luar rumah. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Bibiku ditolak suaminya. Ia bermaksud menanam kormanya di waktu iddah, maka ia dilarang oleh seorang laki-laki keluar dari rumah. Ia datang kepada Nabi Muhammad. Beliau bersabda: Betul, petiklah kormamu sebab barangkali kamu dapat bersedekah dengannya atau berbuat kebaikan .”
Diriwayatkan oleh Al Rabi binti Mua’awwidz, ia berkata: “Kami ikut berperang bersama Rasulullah SAW. Kami menyediakan minuman bagi para prajurit yang terbunuh dan yang terluka ke Madinah”. Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Ummu Athiyyah Al-Anshory berkata: “Saya ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, saya berada di belakang mereka, emgobati yang terluka dan merawat yang sakit.”
Hadits-hadits tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas, betapa kaum perempuan semenjak Nabi telah memegang peran publik mereka di tengah masyarakat. Posisi yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dipelihara dan dibangun secara terus menerus oleh Rasulullah SAW. Hal ini bukan hanya dalam doktrin dan ajaran, tetapi juga dalam praktek pelaksanaan di tengah kehidupan sehari-hari.

C.     Peranan dan Fungsi Perempuan
Sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, wanita telah menjadi salah satu wacana penting. Dalam al-Qur’an terdapat dua surat: an-Nisa dan Maryam yang bertajuk wanita dan isinya banyak membicarakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan wanita. Sepeninggal Nabi SAW, wanita menjadi wacana yang tak pernah selesai. Bahkan perhatian terhadap topik ini melebihi perhatian terhadap tema pria, walaupun antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Hal ini membuktikan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar terhadap wanita dan menjunjung harkat dan martabat seorang wanita.Adapun Peran dan Fungsi wanita dalam perspektif Islam:

1.      Wanita sebagai Ibu
Islam memandang dan memposisikan wanita sebagai ibu di tempat yang luhur dan sangat terhormat. Ibu adalah satu di antara dua orang tua yang mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan setiap individu. Di tangan ibu-lah setiap individu dibesarkan dengan kasih sayang yang tak terhingga. Ibu, dengan taruhan jiwa raga telah memperjuang kehidupan anaknya, sejak anak masih dalam kandungan, lahir hingga dewasa. Secara tegas al-Qur’an memerintahkan setiap manusia untuk menghayati dan mengapresiasi ibu atas jasa-jasanya dengan berbuat baik kepadanya. Firman Allah dalam Q.S. Luqman : 14 sebagai berikut:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

2.      Wanita sebagai Istri
Peran lain wanita dalam kehidupan sehari-hari, adalah sebagai istri. Suami dan istri adalah sepasang makhluk manusia yang atas dasar cinta kasih suci mengikat diri dalam jalinan nikah. Keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Q.S. al-Baqarah : 187 yang artinya :
.........هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ.........
”….mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…
Antara suami istri kedekatannya dan fungsinya adalah bagaikan pakaian yang melekat tubuh pemakainya; saling menutupi kekurangan pasangannya dan saling melindungi. Islam memandang perkawinan melalui jalinan pernikahan dalam rangka mensejahterakan manusia serta menjamin kelangsungan hidup manusia melalui reproduksi dan regenerasi dalam sistem yang sehat.

3.      Wanita sebagai Pribadi dan Anggota Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang berkumpul dan berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bersama. Setiap individu membentuk keluarga dan keluarga-keluarga itu merupakan komponen masyarakat. Tidak dapat dielakkan bahwa masyarakat tersebut lebih kurang separuh anggotanya adalah wanita.
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak hal yang menjadi hak dan kewajiban setiap anggotanya. Hak dan kewajiban itu harus dijunjung tinggi oleh setiap anggota dalam kegiatan dan kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam menunjukkan bahwa pria dan wanita diciptakan dari satu nafs (living entily), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Islam lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang berlandaskan keadilan atas kedudukan pria dan wanita. Keadilan menurut Islam adalah terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara sah, sebaliknya bagi pihak lain (lawan arah) adalah kewajiban.
Oleh karena itu, bagi yang lebih banyak memenuhi kewajiban atau pemikul kewajiban yang lebih besar, dialah yang memiliki hak lebih dibanding yang lain sehingga tidak ada yang dapat dikatakan lebih berbobot antara hak dan kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar. Kesejajaran  hak dan kewajiban pria dan wanita tidak didengungkan oleh Barat; yang diserukan adalah persamaan hak. Kesejajaran dalam hak dan kewajiban antara suami istri sebagaimana digambarkan oleh Nabi bahwa hak istri merupakan kewajiban suami dan sebaliknya hak suami merupakan kewajiban istri. Karena itu suami istri sama-sama memakai pakaian, merasakan kenikmatan makanan, tidak saling berlaku kasar menjelekkan/merendahkan dan tidak akan meninggalkan tanggung jawab masing-masing.

D.     Perempuan Karir dalam bingkai Islam
Sebagai agama yang kaffah, Islam tidak hanya melingkupi dan mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan alam, termasuk di dalamnya tentang bekerja yang tampaknya bersifat duniawi. Bekerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perseorangan atau secara kolektif, baik untuk pribadi ataupun untuk orang lain (dengan menerima gaji).
Menurut Islam bekerja yang tampaknya bernuansa duniawi dapat bernilai ibadah bila dilakukan dengan tujuan yang benar: yaitu mencari ridla Allah SWT, dan mendapatkan keutamaan dari hasil kerjanya. Hal ini sesuai dengan Firman Alllah SWT, dalam surat al-Jum’ah : 10.
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Dan manakala kita mencermati kondisi dalam kehidupannya selama ini, maka akan kita jumpai sebagian suami mereka ternyata tidak berkemampuan menanggung biaya hidup keluarga, bahkan kebanyakan orang tua/wali tidak sanggup menanggung beban hidup seorang anak wanita beserta anak-anaknya ketiak ia diceraikan suaminya atau menjadi janda karena ditinggal mati oleh suaminya.
Dalam kondisi seperti ini seorang wanita dapat dikatakan wajib terjun ke dunia profesi (karier) untuk menanggung biaya hidupnya beserta keluarganya karena sipenanggung jawab sudah tiada/tidak berdaya. Sementara dalam kesempatan lain seorang wanita disunahkan melakukan kegiatan profesi. Manakala kegiatan profesi (karier) dilakukan sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan  yang luhurnya membantu suami, ayah, atau saudaranya yang miskin, mewujudkan kepentingan masyarakat banyak, berkorban pada jalan yang baik dan sebagainya.
Setelah mencermati berbagai motif berkarier bagi wanita maka penelusuran selanjutnya diarahkan pada pandangan Islam terhadap karier wanita. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban yang sama dengan pria, wanita juga mempunyai peluang berkarier sebagaimana pria. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang memberikan pemahaman esensial: bahwa Islam mendorong wanita maupun pria untuk berkarier. Dalam surat an-Nisa : 32, Allah SWT berfirman :
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam beribadah maupun berkarya, wanita memperoleh imbalan dan pahala yang tidak berbeda dengan pria. Islam tidak membedakan pengakuan dan apresiasi terhadap kinerja atasa dasar jenis kelamin. Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan dicapai jika usaha dilakukan secara maksimal disertai do’a. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa wanita bisa berkarier dan dapat mencapai prestasi sama dengan pria atau bahkan melebihinya; bergantung pada usaha dan doanya.
Penegasan Allah SWT bahwa wanita dan pria diberi hak dan peluang yang sama baik dalam hal beramal, bekerja maupun berprestasi dapat disimak pula dalam Q.S.  An-Nisa : 124 berikut ini:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
Beberapa ayat Al-Qur’an tersebut cukup menjadi bukti bahwa ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan motivasi yang kuat agar para musliamah mampu berkarier di segala bidang sesuai dengan kodrat martabatnya. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Dengan demikian, Islam memang agama pembebasan dari perbudakan antar manusia maupun hawa nafsunya. Konsep ini selaras dengan prinsip kebebasan yang dianut barat. Hanya saja, melalui Islam manusia dituntun hidup bebas sesuai dengan tuntunan Tuhan.
Masalah yang timbul kini berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam dalam dunia profesi (karier) yang ruang geraknya disektor publik, sedangkan di sisi lain wanita sebagai ra’iyah fi baiti zaujiha (penanggungjawab dalam masalah-masalah intern rumah tangga), cukup menimbulkan pendapat yang kontroversial di kalangan cendekiawan muslim. Abbas Mahmud al-Aqqad  misalnya, tidak memperbolehkan wanita (istri) bekerja di luar rumah. Alasannya karena pria telah diberi kelebihan kemampuan dalam menghadapi hidup daripada wanita. Karena itu ”pekerajaan” wanita terletak di rumah tangga, meskipun ia memiliki kesanggupan intelektual maupun fisik yang sama dengan pria, namun dalam kondisi tertentu wanita harus mundur dari perjuangan hidup selama hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Kecuali bila wanita terpaksa harus mencari nafkah sendiri, maka al-Aqqad membolehkan wanita bekerja. Mustafa al-Siba’i sependapat dengan al-Aqqad, yakni membolehkan wanita bekerja manakala tidak ada seseorang yang menjamin nafkah padanya. Itupun hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang relatif mudah wajar dan tidak mengandung resiko. Bainya wanita lebih terhormat untuk tinggal di rumah terutama bila yang bersangkutan mempunyai anak.
Dalam kegiatan sosial maupun politik, meskipun tidak ada larangan secara eksplisit, namun pada masa Rasul SAW, dan masa Sahabat tidak ada wanita yang berprofesi sebagai politikus. Keterlibata mereka di medan perang untuk menjadi perawat dan juru masak sekedar partisipasi dan bukan pemegang posisi strategis. Ia beranggapan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah, lebih banyak maaratnya dibandingkan manfaat yang diraihnya, yaitu mendatangkan fitnah yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan rumah tangganya.
Abdurahman Taj berpendapat bahwa apabila seorang istri bekerja sehari penuh atau sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari  berada di rumah (suaminya) atau bekerja di malam hari dan menggunakan sisa waktu malamnya bersama suami; maka apabila hak suami rela dengan keadaan tersebut, gugurlah haknya dalam menahan istri agar tinggal di rumah dan ia wajib memberinya (istri) nafkah, sebaliknya manakala ia (suami) tidak rela maka ia tidak (wajib) memberinya (istri) nafkah. Bahkan apabila suami pada mulanya rela istri bekerja lantas berubah pikiran untuk mencegahnya dan manakala istrinya menolak untuk berhenti bekerja, maka gugurlah kewajiban suami memberi nafkah.
Bila dicermati dengan seksam maka pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan kepada paham fungsionalistik, yang mengutamakan keseimbangan, keharmonisan dan kestabilan, karena itu agar tidak terjadi konflik dalam keluarga akibat persaingankarier (suami-istri) maka harus ada pembagian tugas yang sedemikian rupa yang menempatkan suami dalam fungsi instrumental dan istri dalam fungsi ekspresif.
Sedangkan dipihak lain antara lain al-Hatimi menyatakan bahwa wanita boleh bekerja, bahkan dibolehkan menduduki jabatan strategis/peranan penting di masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada ajaran syariat yang menghidupi kesuciannya serta tidak menelantarkan peran utamanya sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya bertolak dari historis tentang partisifasi para wanita di zaman Nabi SAW, dalam peperangan, misalnya: ”mengangkat/menyediakan air minum para prajurit, memasak/menyediakan makanan, menjaga/merawat prajurit yang sakit, menjaga dan memelihara kenadaraan, memata-matai musuh, menjahit pakaian dan sebagainya”.
Seorang wanita yang bernama Ummu ’Atiyah ikut berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali sebagaimana pengakuannya yang termaktub dalam Hadis berikut: Dari Ummu ’Atiyah al-Anshariyyah berkata, ”Saya berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali; aku membantu mereka (pasukan) dalam barak mereka dengan menyiapkan makanan mereka, mengobati yang terluka, dan menjaga yang sakit”.      (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi wanita yang ikut terjun ke medan perang, misalnya Safiyah binti Abdul Muthalib seorang wanita pemberani dan sangat perkasa, sehingga dengan pukulannya yang kuat ia bisa membunuh mata-mata dari umat Yahudi.
Dengan fakta-fakta historis tersebut maka tidak perlu ada lagi alasan-alasan yang mengahalangi/melarang seorang wanita terjun dalam profesi apapun, manakala tidak keluar dari koridor kewajaran menurut syariat Islam dan tidak meninggalkan/ mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu rumah tangga.
Tokoh lain yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah al-Sakhawi yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang mempunyai keahlian atau kepandaian tertentu, seharusnya diabdikan kepada masyarakat agar manfaatnya menyebar kepada orang banyak. Jamal al-Din Muhammad Mahmud sependapat dengan al-Sakhawi bahwa wanita berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja (di sektor publik) apabila yang bersangkutan membutuhkan pekerjaan itu, atau pekerjaan tersebut membutuhkan orang-orang seperti dia (dalam keahlian tertentu) bahkan seharusnya dibuat undang-undang yang sesuai dengan hukum Islam untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan pekerja-pekerja wanita itu.
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh wanita dalam meniti karier di luar rumah. Antara lain:
1)      Pergaulan Perempuan
Berkaitan dengan pola pergaulan muslimah, al-Qur’an dan hadits telah memaparkan dengan jelas ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap muslimah. Dalil-dalil ini juga telah dikutip oleh para ”ulama” sebagaimana tertuang buku-buku fikih. Dari berbagai ayat dan sabda Nabi, dapat disimpulkan prinsif-prinsif dasar yang menjadi landasan pola pergaulan muslimah.dalam hubungan ini, hal-hal berikut ini perlu direnungkan.
Salah satu ayat al-Qur’an (Surat Al-Ahzab/33 : 33) menyatakan wanita diperintahkan untuk tinggal dirumah dan tidak diperkenankan keluar rumah dengan tabarruj seperti orang-orang jahiliyah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ.......
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”
Namun dilihat dari asbab al nujulnya, ayat ini turun dalam konteks istri-istri Nabi. Istri-istri Nabi SAW diperintahkan untuk tetap berada di rumahnya kecuali ada keperluan yang bersifat darurat, dan ini juga berlaku pula bagi wanita muslimah lainnya jika tidak ada dalil lain yang menyatakan berbeda. Ayat ini diturunkan untuk melindungi dan memuliakan wanita.
Untuk kehidupan masa kini, meninggalkan rumah bagi sebagian wanita muslimah tidak hanya darurat tetapi merupakan kebutuhan. Bahkan meninggalkan rumah untuk berkarier, sama sekali tidak menjadikan wanita terancam; bahkan bisa ”mulia” menurut persepsi masyarakat. Dengan kata lain wanita yang berkarier dan sukses justru dinilai positif dan direspek tentu saja selama wanita itu memegang teguh nilai-nilai Islam, baik dalam pergaulan, pakaian maupun dalam bekerja.
Dalam berinteraksi dengan kaum pria, wanita diperintahkan untuk merendahkan suaranya, dan dilarang mengekspresikan suara yang menimbulkan rangsangan bagi pria selain muhrimnya. Firman Allah:
 يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah perkataan yang baik,” (Q.S. Al-Ahzab/33:32)
Masih terkait dengan interaksi wanita-pria, wanita tidak diperkenankan berduaan dengan pria  bukan muhrimnya, demikian pula sebaliknya. Dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Uqbah bin Amir dari Nabi SAW mengatakan, ”Tidaklah seorang pria berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, kecuali setan yang ketiga diantara mereka”. (HR. Bukhari, Ahmad dan At-Turmudzi).
Ketika berjalan, wanita harus menunjukkan sikap tawadu, penuh rasa malu namun sopan dan tidak menampakkan kelemahan yang bisa mendorong pria untuk menggodanya. Tidak boleh memakai sesuatu yang menimbulkan suara ketika berjalan, sehingga menarik perhatian orang yang mendengarnya, seperti memakai gelang kaki, sepatu yang bisa menimbulkan suara dan sebagainya. Dalam al-Qur’an dinyatakan
.....وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“…Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur : 31)
Wanita hendaknya tidak berdesakan dengan pria di jalan. Ketika berjalan berbaur dengan orang banyak, dimana sebagian mereka adalah pria, maka hendaknya wanita di bagian belakang.
Wanita juga tidak boleh memakai wewangian dan aneka macam alat kecantikan yang bisa menarik perhatian lawan jenis.
Islam telah menggariskan etika sempurna tentang peran wanita dalam kehidupan sosial dengan segala konsekuensinya, seperti harus bertemu dengan kaum pria. Dalam hal ini terdapat beberapa faktor yang menjadi karakter dasar etika tersebut, diantaranya:
·         Tidak menghambat proses keseriusan hidup serta tetap mempertahankan akhlak dan harga diri manusia.
·         Menumbuhkembangkan kesejahteraan dan kemakmuran, menjauhkan manusia dari kemunkaran sekaligus menempanya sehingga tidak terseret arus kejahatan.
·         Menjamin kesehatan mental pria dan wanita secara merata, karena tidak membuka peluang bagi sikap berlebihan, melanggar norma suslila, atau memancing syahwat. Selain itu, etika itupun tidak menimbulkan sikap pura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menjadikan seorang wanita menutup diri dari seorang pria.

2)      Ketentuan Berbusana dalam Islam
Salah satu usaha preventif agar tidak timbul madarat bagi wanita yang dalam tugas kesehariannya berada di tengah komunitas pria adalah perlunya menegakkan perintah (wajib) menutup aurat atau dengan kata lain berbusana yang islami, dengan beberapa alasan antara lain: Pertama, menutup aurat oleh wanita merupakan faktor penunjang utama kewajiban pria untuk menahan pandangan yang diperintahkan Allah SWT. Kedua, menutup aurat menjadi wajib karena sad al-zara’i yaitu menutup pintu kepada dosa yang lebih besar seperti berzina, sebagaimana tertuang di dalam QS. al-Isra/17 : 32 :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.”
Oleh karena itu, para ulama sepakat mengatakan, menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita. Busana yang dikenakan sehari-hari di ruang publik bagi wanita karier khususnya dan wanita pada umumnya, hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
·         Busana yang menutup seluruh aurat yang wajib ditutup.
·         Busana yang tidak menyolok mata dan menjadi kebanggaan pemakainya di depan orang lain.
·         Busan yang tidak tipis, agar warna kulit pemakainya tidak nampak dari luar.
·         Busana yang agak longgar/tidak terlalu ketat agar tidak menampakkan bentuk tubuhnya.
·         Busana yang tidak menyerupai/sama dengan busana untuk pria.
·         Busana yang bukan merupakan perhiasan bagi kecantikan yang menjadi alat kesombongan/tabarruj.

3)      Etos Kerja Islami
Selain pergaulan dan pakaian, muslimah yang memilih dunia karier juga harus bekerja dengan etos kerja yang tinggi dan profesional. Dalam Islam banyak didapati ajaran yang mendorong untuk melakukan usaha dan bekerja yang giat untuk memperoleh hasil kerja yang maksimal.




BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Wanita muslimah dapat melakukan kegiatan karier di luar rumah, manakala kegiatan profesi (karier) dilakukan sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan  yang luhurnya membantu suami, ayah, atau saudaranya yang miskin, mewujudkan kepentingan masyarakat banyak, berkorban pada jalan yang baik dan sebagainya.
B.      Saran
Tidak ada lagi alasan-alasan yang mengahalangi/melarang seorang wanita terjun dalam profesi apapun, manakala tidak keluar dari koridor kewajaran menurut syariat Islam dan tidak meninggalkan/mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu rumah tangga.










DAFTAR PUSTAKA
Abdurrauf Saimima, Iqbal (Editor), 1988. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta : Putaka Panjimas.
Albar, Muhammad, 1999. Wanita Karier dalam Timbangan Islam, Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual, terjemahan Amir Hamzah Fachrudin. Jakarta: Pustaka Azzam.
Dahri, Ibnu Ahmad, 1985. ”Peran Ganda Wanita dalam Keluarga” dalam Emansipasi Wanita dan Peran Ganda Wanita Indonesia. Yogyakarta, UII Press.